Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Seputar Bola

Lihat juga !

Senin, 18 Juni 2012

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

download makalah, skripsi, tesis dll.


SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

Posted: 17 Jun 2012 07:17 PM PDT



(KODE : EKONPEMB-0017) : SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974, pembangunan Indonesia dituntut untuk memperhatikan istilah desentralisasi, yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi sesuai dengan undang-undang.
Namun masih ditemukan banyak kelemahan yang terjadi di dalam umdang-undang ini yaitu tidak secara tegas mengatur sampai seberapa jauh tingkat otonomi yang dimiliki daerah atau yang diberikan pusat ke daerah. Undang-undang ini hanya mencantumkan prinsip saja "pelaksanaan otonomi yang bersifat nyata dan bertanggung jawab." Sampai seberapa jauh nyata-nya dan batas-batas tanggung jawab seperti apa tidak ditegaskan. Hal ini mengakibatkan pembangunan tetap berjalan secara sentralistis yang tetap ditandai dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh pusat, dan pemerintah di tingkat daerah praktis sekedar perpanjangan tangan dari pusat.
Sejalan dengan pembangunan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dengan kondisi yang ada pembangunan Indonesia mengalami kesenjangan kesejahteraan itu, ditengah arus globalisasi yang membuat batas-batas Negara semakin tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informasi yang tidak terbendung, menurut sistem pemerintahan yang sentralistik harus diganti mengingat daerah di Indonesia memiliki keunikan sendiri, baik dari demografi maupun potensi ekonominya. Melihat inilah maka pemerintah menetapkan UU No. 22 tahun 1999 dalam memberi acuan dasar yang cukup tegas bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk mengatur dan mengurus daerah sendiri.
Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya.
Dalam Negara majemuk seperti Indonesia, satu ukuran belum tentu cocok untuk semua daerah. Dalam proses ini komunitas-komunitas lokal perlu dilibatkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, termasuk DPR untuk menjamin proses desentralisasi secara lebih baik dan bertanggung jawab dimana mereka sebagai salah satu stakeholder yang memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah (Widjaja, 2004 : 2). 
Perjalanan desentralisasi inipun terus mengalami perkembangan diberbagai daerah dan dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kelemahan terkhusus dari segi undang-undang yang mengaturnya sehingga dimunculkan beberapa undang-undang seperti dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang hubungan keuangan pusat-daerah. Kedua undang-undang ini semakin memberikan kemudahan dalam melihat pencapaian pengelolaan daerah dimana pemerintah daerah. Hal ini yang berekaitan erat dengan kemandirian pelaksanaan pemerintah daerah adalah kebijakan fiscal daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria harus dipenuhi dalam rencana dan usul pemekaran daerah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif pemekaran antara lain ialah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial, budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain adalah 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh wilayah dan membina kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, bertujuan untuk menjamin perkembangan dan pembangunan daerah yang dilaksanakan dengan azas dekonsentrasi. Lebih terperinci tujuan tersebut seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 adalah :
1. Mempercepat laju pertumbuhan pembangunan
2. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
3. Upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
4. Mempertinggi daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
6. Terbinanya stabilitas politik dan kesatuan bangsa.
Namun seperti diketahui bahwa meskipun sudah ada otonomi daerah, pembangunan di daerah tidak hanya berasal dari program regional, tetapi berasal dari program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh Departemen teknis. Artinya program pembangunan daerah tersebut merupakan kombinasi dari asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Dengan cara demikian diharapkan disparitas kemajuan akibat pembangunan antar daerah dapat dikurangi. Keadaan seperti ini merupakan suatu ciri negara sedang berkembang, yaitu masih tingginya peranan pemerintah pusat dalam memperoleh dan menyalurkan dana kepada daerah (Majidi, 1991 : 4)
Dalam kenyataan pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan proyek pembangunan sektoral tersebut tidak sesuai dengan keinginan(aspirasi) daerah seiring perencanaan pembanugnan sektoral lebih bersifat top-down.
Pemekaran wilayah berakibat langsung terhadap terjadinya pembatasan wilayah dengan luasan yang lebih kecil, persebaran penduduk lebih konsentrasi, keuangan (PAD), dan perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi, karena walaupun diadakan pemekaran wilayah namun potensi wilayah yang bersifat alamiah dan sarana prasarana wilayah yang sudah terbangun tidak akan dapat dibagi. Demikian juga distribusi penduduk dan aktivitasnya yang sudah tersebar dengan keadaan saat ini juga sangat sulit diubah. 
Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar sektor. pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.
Menurut pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah pendudukjumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Menurut Boediono (2001) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Proses pertumbuhan ekonomi bersifat dinamis yang berarti berkembang terus-menerus.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. PDRB merupakan keseluruhan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah. Data PDRB menngambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. PDRB perkapita merupakan hasil dari pembagian PDRB dengan jumlah penduduk, dengan kata lain pembentukan PDRB perkapita dapat dilihat dari meningkatnya nilai tambah sektor-sektor ekonomi yang ada dalam wilayah tersebut. Penelitian ini terfokus pada pemekaran wilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisis sejauh mana pelaksanaan pemekaran wilayah terhadap peningkatan pertumbuhan PDRB perkapita. Untuk itu penulis mengambil judul "Pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan PDRB perkapita (studi kasus Kabupaten X)".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Apakah pemekaran kabupaten akan menyebabkan perubahan aktivitas basis ekonomi Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan(peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran wilayah ?

1.3. Hipotesis
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan aktivitas basis ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
2. Dengan adanya pemekaran wilayah pertumbuhan PBRD perkapita di Kabupaten X mengalami peningkatan.
3. Dengan adanya pemekaran wilayah, terdapat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perubahan aktivitas basis ekonomi di kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan (peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X.
3. Untuk melihat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah Pemekaran wilayah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya atau sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa, terutama bagi mahasiswa departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non ilmiah penulis dalam displin ilmu yang penulis tekuni serta mengaplikasikannya secara konseptual dan tekstual dan masukan bagi penelitian lain.

SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

Posted: 17 Jun 2012 07:14 PM PDT



(KODE : EKONPEMB-0016) : SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001 : 169).
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Kuncoro, 2004 : 18).
Di Seminar Nasionalnya, Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor (Sidiq, 2002 : 4), yaitu :
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement. 2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004 : 13), yaitu :
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004 : 15) :
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinj aman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan daerah adalah : (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas ekonomi daerah (Mulyanto, 2004).  
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-kebij akan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebij aksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan daerah.
Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah. Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat. Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan investasi.
Dimulainya beberapa kerjasama antar beberapa pemerintah daerah dalam lingkup regional atau yang disebut dengan Regional Management ini tidak lain bertujuan untuk secara bersama mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya secara khusus dalam bidang ekonomi, kemudian juga bidang investasi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan merata antar daerah dan juga dapat menciptakan daya saing antar daerah (Efiawan dalam Adi Tri, 2009). Untuk daerah Jawa Tengah ada kerjasama antar daerah dengan dasar kerjasama ekonomi regional yaitu Kawasan X yang merupakan Kawasan Strategis Pertumbuhan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan merupakan Wilayah Pembangunan II di Provinsi Jawa Tengah (Mulyanto, 2002). Kawasan ini pusat pertumbuhannya adalah Kota X karena pembangunan ekonominya cukup bagus dibandingkan dengan daerah tetangga, terlihat dari iklim investasi yang kondusif dan berkembang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baik itu yang tradisional maupun modern.
Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan daerah yang lebih baik dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
PDRB atas dasar harga berlaku daerah kabupaten/kota di X menunjukkan harga yang berlaku pada tahun tersebut yang digunakan untuk menilai barang dan jasa pada tahun tersebut. Dalam hal ini nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan penerimaan daerah di setiap Kabupaten/Kota di X selalu meningkat, ini berarti menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Santoso, 2003 : 148).
Penelitian ini, peneliti akan mencoba menganalisis tentang bagaimana perimbangan keuangan pusat-daerah di Kabupaten dan kota di X, dimana diketahui sumber-sumber keuangan daerah yang berbeda-beda, pertumbuhan ekonomi, keadaan penduduk, keadaan geografi, PDRB perkapita yang berbeda-beda pula sehingga Pemerintah Daerah dalam menjalankan konsep desentralisasi juga berbeda, dalam alokasi keuangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dalam Konsep Desentralisasi Fiskal di X Sebelum dan Selama Otonomi Daerah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perkembangan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama Otonomi tahun Daerah 1997-2008 ditinjau dari Derajad Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, UpayaFiskal, Derajad Otonomi Fiskal ?
2. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah ?
3. Bagaimana perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama otonomi daerah pada tahun 1997-2008 ditinjau dari Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal.
2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah.
3. Untuk mengetahui perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah, sehingga diketahui Kabupaten/kota tersebut apakah tergantung pada transfer pusat atau tidak.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu :
1. Dapat mengetahui hubungan keuangan pusat-daerah dalam konsep desentralisasi fiskal di X, sehingga dapat menjadi tambahan pembelajaran bagi pembaca dalam membandingkan antara Kabupaten/ Kota di kawasan X, bagaimana kemandirian setiap kabupaten tersebut dan dapat mengetahui seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah setiap Kabupaten.
2. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini di dapat di bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian.
3. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat, dan lembaga-lembaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

Posted: 17 Jun 2012 07:11 PM PDT



(KODE : EKONPEMB-0015) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu (M. Nasir, dkk 2008).
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Menurut BPS (2007), seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan.
Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar yang disebut "Grand Strategy". Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar. Ketiga, peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat, perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima, kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007).
Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah memperlihatkan pengaruh yang positif. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang mengalami pola yang menurun. Kecenderungan penurunan tingkat kemiskin di Jawa Tengah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tingkat kemiskinan sebesar 21,78 persen dan turun menjadi 20,49 persen di tahun 2005, tetapi di tahun 2006 meningkat menjadi 22,19 persen, kemudian turun menjadi 20,43 persen di tahun 2007 dan 19,23 persen di yahun 2008.
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah merupakan tingkat kemiskinan agregat dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan di 35 kabupaten di Jawa Tengah masih tidak merata, dan sebagian besar tingkat kemiskinannya masih tinggi. Ada empat kota yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah 10 persen, yaitu Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, sedangkan yang lainya diatas 10 persen. Ini mengindikasikan usaha pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan belum merata ke seluruh kabupaten/kota. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.
Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009). 
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008).
Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Kebijakan upah minimum juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Gagasan upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal tahun 1970-an bertujuan untuk mengusahakan agar dalam jangka panjang besarnya upah minimum paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), sehingga diharapkan dapat menjamin tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarga dan sekaligus dapat mendorong peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh (Sonny Sumarsono, 2003).
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999, Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Kebijakan penetapan upah minimum oleh pemerintah adalah kebijakan yang diterapkan dengan tujuan sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Jika kebutuhan hidaup minimum dapat terpenuhi, maka kesejahteraan pekerja meningkatkan dan terbebas dari masalah kemiskinan.
Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 (Per-17/Men/VIII/2005), KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, non fisik, dan sosial selama satu bulan. Seorang pekerja dianggap hidup layak jika upahnya mampu memenuhi kebutuhan 3000 kalori per hari. Oleh karena itu, KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Ada 7 komponen KHL yang selalu dihitung, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pendidikan. Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2004).
Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat, agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Criswardani Suryawati, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti menemukan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam menuninkan tingkat kemiskinan.
Pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan relevansi pendidikan sesuai dengan tujuan perkembangan iptek dan kebutuhan pasar kerja, dengan memperhatikan sistem pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen Internasional di bidang pendidikan. Akses masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) SD/MI 107, 17 % menjadi 109, 12 %, SMP/MTS meningkat dari 71, 55 % menjadi 77, 68 % dan proporsi penduduk buta huruf dari 13, 27 % menjadi 10, 46 % masing-masing pada tahun 2003 dan tahun 2007 (Bappeda Jateng, 2008).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pengangguran. Salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan (Sadono Sukirno, 2003). 
Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tergolong masih tinggi, dimana masih dalam kisaran diatas 5 persen. Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tidak stabil, mengalami beberapa kali fase naik turun. Pada tahun 2003, tingkat pengangguran sebesar 5,66 persen, kemudian naik menjadi 6,54 persen di tahun 2004. Peningkatan tingkat penggangguran terjadi secara beruntun dari tahun 2006 dan tahun 2007, dari 5,88 di tahun 2005 menjadi 7,29 di tahun 2006 dan 7,7 di tahun 2007.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, di Provinsi Jawa Tengah dalam peri ode 2003-2007 terjadi fenomena penurunan tingkat kemiskinan, tetapi rata-rata tingkat kemiskinannya dibanding provinsi-provinsi lain di pulau Jawa adalah yang paling tinggi. Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan ke seluruh kabupaten/kota menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2003 hingga tahun 2008 mengalami periode yang relatif baik karena mengalami trend yang menurun dari 21,78 persen di tahun 2003 menjadi 19,23 persen di tahun 2008, meskipun sempat mengalami kenaikan di tahun 2006 menjadi 22,16. Rata-rata tingkat kemiskinan Jawa Tengah masih yang paling tinggi dibanding dengan provinsi lain di pulau Jawa. Penyebabnya adalah belum meratanya hasil dari usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan keseluruh kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat berpenganih terhadap tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota agar dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disertai pemerataan hasil pertumbuhan keseluruh sektor usaha sangat dibutuhkan dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Maka untuk mempercepat penurunkan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah upah minimum. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak yang dibutuhkan pekerja dengan harapan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan pekerja sehingga tingkat kemiskinan akan berkurang.
Selain itu, pendidikan dan pengangguran juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan memperbesar peluang kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan memperoleh kemakmuran. Pendapatan masyarakat maksimum tercapai saat perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Semakin meningkatnya tingkat pengangguran akan semakin mengurangi pendapatan masyarakat yang berakibat naiknya tingkat kemiskinan.
Atas dasar permasalahan diatas maka persoalan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan ?
2. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan ?
3. Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan ?
4. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan ?
5. Bagaimana perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penelitian 
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan.
2. Menganalisis perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada :
1. Pengambil Kebijakan
Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna di dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
2. Ilmu Pengetahuan
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu ekonomi khususnya ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni dapat melengkapi kajian mengenai tingkat kemiskinan dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Sistematika Penulisan 
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang terdiri dari tingkat kemiskinan di Indonesia serta fenomena tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Menyajikan landasan teori tentang, teori kemiskinan, pengertian pertumbuhan ekonomi, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan, teori upah minimum, hubungan antara upah minimum dan tingkat kemiskinan, teori pendidikan, hubungan antara pendidikan dan tingkat kemiskinan, teori penganguran, hubungan antara penganguran dan tingkat kemiskinan. Disamping itu pada bab ini juga terdapat penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis yang dapat diambil.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dipaparkan tentang metode penelitian yang meliputi variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data, dan metode analisis.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini dipaparkan tentang deskripsi obyek penelitian, yaitu kondisi tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran di Jawa Tengah, analisis data dan pembahasan.
Bab V Penutup
Pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan.

0 komentar:

Posting Komentar